BAB I
PERKEMBANGAN NILAI, MORAL, DAN SIKAP
PERKEMBANGAN NILAI, MORAL, DAN SIKAP
Nah dalam makalah ini saya akan
membahas tentang perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap. Dalam
perkembangan remaja juga mengenal Nilai, Moral, dan Sikap yang merupakan
tiga aspek yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan remaja.
A. Latar Belakang
Faktor yang mempengaruhi proses perkembangan individu:
- Diri individu sendiri meliputi yang faktor endogen terdiri komponen hereditas (keturunan) dan faktor konstitusi.
- Luar individu (faktor eksogen) terdiri lingkungan keluarga. Lingkungan sosial, lingkungan geografis.
BAB II PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN NILAI, MORAL, DAN SIKAP
Ada tiga konsep yang
masing-masing mempuyai makna, pengaruh, dan konsekuensi yang besar
terhadap perkembangan perilaku individu, termasuk juga perilaku remaja.
Nilai
Dalam kamus bahasa Indonesia,
nilai adalah harga, angka kepandaian. Menurut Spranger, nilai diartikan
sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk
menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial
tertentu. Dalam perspektif Spranger, kepribadian manusia terbentuk dan
berakar pada tatanan nilai-nilai dan kesejahteraan. Meskipun menempatkan
konteks sosial sebagai dimensi nilai dalam kepribadian manusia, tetapi
spranger tetap mengakui kekuatan individual yang dikenal dengan istilah “
roh subjektif” (subjective spirit) dan kekuatan nilai-nilai budaya
merupakan “roh objektif” (objevtive spirit). Roh objektif akan
berkembang manakala didukung oleh roh subjektif, sebaliknya roh
subjektif terbentuk dan berkembang dengan berpedoman kepada roh objektif
yang diposisikan sebagai cita-cita yang harus dicapai.
Nilai merupakan sesuatu yang
memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat keputusan mengenai
apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai. Secara
dinamis, nilai dipelajari dari produk sosial dan secara perlahan
diinternalisasikan oleh individu serta diterima sebagai milik bersama
dengan kelompoknya. Nilai merupakan standar konseptual yang relatif
stabil dan emplisit membimbing individu dalam menentukan tujuan yang
ingin dicapai serta aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan
psikologisnya.
Spranger menggolongkan nilai itu kedalam enam jenis, yaitu:
nilai teori atau nilai keilmuan (I)
nilai ekonomi (E)
nilai sosial atau nilai solidaritas (Sd)
nilai agama (A)
nilai seni (S)
nilai politik atau nilai kuasa (K)
Moral
Istilah moral berasal dari kata
Latin Mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau
kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima
tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar. Moral merupakan
kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam
kehidupannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan
standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu sebagai anggota sosial.
Moralitas merupakan aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam
kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan seimbang.
Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh
keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan.
Perubahan pokok dalam moralitas
selama masa remaja terdiri dari mengganti konsep-konsep moral khusus
dengan konsep-konsep moral tentang benar dan salah yang bersifat umum,
membangun kode moral berdasarkan pada prinsip-prinsip moral individual,
dan mengendalikan perilaku melalui perkembangan hati nurani.
Tokoh yang paling terkenal dalam
kaitannya dengan pengkajian perkembangan perkembangan moral adalah
Lawrence E. Kohlbert (1995). Melalui desertasinya yang sangat monumental
yang berjudul The Development of Modes of Moral Thinking and Choice in
the Years 10 to 16. Berdasarkan penelitiannya itu, Kohlbert (1995)
menarik sejumlah kesimpulan sebagai berikut:
penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional.
Terdapat sejumlah tahap
pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan formal harus diuraikan
dan yang biasanya digunakan remaja untuk mempertanggungjawabkan
perbuatan moralnya.
Membenarkan gagasan Jean Piaget
bahwa pada masa remaja sekitar umur 16 tahun telah mencapai tahap
tertinggi dalam proses pertimbangan moral.
Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
a. Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
b. Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kodeprilaku.
c. Melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.
Tahap-tahap perkembangan moral
yang sangat dikenal diseluruh dunia adalah yang dikemukakan oleh
Lawrence E. Kohlbert (1995), yaitu sebagai berikut:
Tingkat Prakonvensional
Tingkat prakonvensional adalah
aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral masih ditafsirkan oleh
individu/anak berdasarkan akibat fisik yang akan diterimanya baik berupa
sesuatu yang menyakitkan atau kenikmatan.
Tingkat prakonvensional memiliki dua tahap, yaitu:
Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan
Pada tahap ini, akibat-akibat
fisik pada perubahan menentukan baik buruknya tanpa menghiraukan arti
dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata
menghidari hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya.
Tahap 2: Orientasi relativis-instrumental
Pada tahap ini, perbuatan
dianggap benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk
memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang
lain. Hubungan antarmanusia diipandang seperti huubungan di pasar yang
berorientasi pada untung-rugi.
Tingkat Konvensional
Tingkat konvensional atau
konvensional awal adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral
dipatuhi atas dasar menuruti harapan keluarga, kelompok, atau
masyarakat.
Tingkat konvensional memiliki dua tahap, yaitu:
Tahap 3: Orientasi kesepakatan antara pribadi atau desebut orientasi “Anak Manis”
Pada tahap ini, perilaku yang dipandang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka.
Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban
Pada tahap ini, terdapat
orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap, penjagaan tata tertib
sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban
sendiri, menhormati otoritas, aturan yang tetap, dan penjagaan tata
tertib sosial yang ada. Semua ini dipandang sebagai sesuatu yang
bernilai dalam dirinya.
Tingkat Pascakonvensional, Otonom, atau Berdasarkan Prinsip
Tingkat pascakonvensional adalah
aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dirumuskan secara jelas
berdasarkan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan
dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang
berpegang pada prinsip tersebut dan terlepas pula dari identifikasi diri
dengan kelompok tersebut.
Tingkat pascakonvensional memiliki dua tahap, yaitu:
Tahap 5: Orientasi kontrak sosial legalitas
Pada tahap ini, individu pada
umumnya sangat bernada utilitarian. Artinya perbuatan yang baik
cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang
telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh masyarakat. Pada
tahap ini terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan
pendapat pribadi sesuai dengan relativisme nilai tersebut. Terdapat
penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan, terlepas
dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, dan
hak adalah masalah nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah
penekanan pada sudut pandang legal, tetapi dengan penekanan pada
kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional
mengenai manfaat sosial. Di luar bidang hukum, persetujuan bebas, dan
kontrak merupakan unsur pengikat kewajiban .
Tahap 6: Orientasi prinsip dan etika universal
Pada tahap ini, hak ditentukan
oleh suara batin sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri
dan yang mengacu kepada komprehensivitas logis, universalitas, dan
konsestensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis, bukan
merupakan peraturan moral konkret. Pada dasarnya inilah prinsip-prinsip
universal keadilan, resiprositas, persamaan hak asasi manusia, serta
rasa hormat kepada manusia sebagai pribadi.
Berdasarkan tingkatan dan
tahapan perkembangan moral, kohlberg (1995) menerjemahkannya ke dalam
motif-motif individu dalam melakukan perbuatan moral. Sesuai dengan
harapan perkembangan moral, motif-motif perilaku moral manusia adalah
sebagai berikut:
Tahap 1: Perbuatan moral
individu dimotivasi oleh penghindaran terhadap hukuman dan suara hati
yang pada dasarnya merupakan ketakutan irasional terhadap hukuman.
Tahap 2: perbuatan moral
individu dimotivasikan oleh keinginan untuk mendapat ganjaran dan
keuntungan. Sangat boleh jadi reaksi rasa bersalah diabaikan dan hukuman
dipandang secara pragmatis (membedakan rasa takut, rasa nikmat, atau
rasa sakit dari akibat hukuman).
Tahap 3: perbuatan moral
individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan orang lain, baik
yang nyata atau yang dibayangkan secara hipotesis.
Tahap 4: perbuatan moral
individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan yang mendalam karena
kegagalan dalam melaksanakan kewajiban dan rasa bersalah diri atas
kerugian yang dilakukan terhadap orang lain.
Tahap 5: perbuatan moral
individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap upaya mempertahankan rasa
hormat terhadap orang lain dan masyarakat yang didasarkan atas akal
budi dan bukan berdasarkan emosi , keprihatinan terhadap rasa hormat
bagi diri sendiri (misalnya, untuk menghindari sikap menghakimi diri
sendiri sebagai makhluk yang tidak rasional, tidak konsisten, dan tanpa
tujuan).
Tahap 6: perbuatan moral
individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap sikap mempersalahkan diri
karena melanggar prinsip-prinsipnya sendiri. Individu cenderung
membedakan rasa hormat dari diri sendiri. Selain itu juga dibedakan
antara rasa hormat terhadap diri karena mencapai rasionalitas dan rasa
hormat terhadap diri sendiri karena mampu mempertahankan prinsip-prinsip
moral.
Sikap
Fishbein (1975) mendefenisikan
sikap adalah predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespon
secara konsisten terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel laten
yang mendasari, mengarahkan dan mempengaruhi perilaku. Sikap tidak
identik dengan respons dalam bentuk perilaku, tidak dapat diamati secara
langsung tetapi dapat disimpulkan dari konsistensi perilaku yang dapat
diamati. Secara operasional, sikap dapat diekspresikan dalam bentuk
kata-kata atau tindakan yang merupakan respons reaksi dari sikapnya
terhadap objek, baik berupa orang, peristiwa, atau situasi.
Menurut Chaplin (1981) dalam
Dictionary of Psychology menyamakan sikap dengan pendirian. Chaptin
menegaskan bahwa sumber dari sikap tersebut bersifat kultural, familiar,
dan personal. Artinya, kita cenderung beranggapan bahwa sikap-sikap itu
akan berlaku dalam suatu kebudayaan tertentu, selaku tempat individu
dibesarkan. Jadi, ada semacam sikap kolektif (collective attitude) yang
menjadi stereotipe sikap kelompok budaya masyarakat tertentu. Sebagian
besar dari sikap itu berlangsung dari generasi ke generasi di dalam
struktur keluarga. Akan tetapi, beberapa darin tingkah laku individu
juga berkembang selaku orang dewasa berdasarkan pengalaman individu itu
sendiri. Para ahli psikologi sosial bahkan percaya bahwa sumber-sumber
penting dari sikap individu adalah propaganda dan sugesti dari
penguasa-penguasa, lembaga pendidikan, dan lembaga-lembaga lainnya yang
secara sengaja diprogram untuk mempengaruhi sikap dan perilaku individu.
Stephen R. Covey mengemukakan
tiga teori determinisme yang diterima secara luas, baik sendiri-sendiri
maupun kombinasi, untuk menjelaskan sikap manusia, yaitu:
Determinisme genetis (genetic
determinism): berpandangan bahwa sikap individu diturunkan oleh sikap
kakek-neneknya. Itulah sebabnya, seseorang memiliki sikap dan tabiat
seperti sikap dan tabiat nenek moyangnya.
Determinisme psikis (psychic
determinism): berpandangan bahwa sikap individu merupakan hasil
pelakuan, pola asuh, atau pendidikan orang tua yang diberikan kepada
anaknya.
Determinism lingkungan
(environmental determinism): berpandangan bahwa perkembangan sikap
seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan individu itu tinggal dan
bagaimana lingkungan memperlakukan individu tersebut. Bagaimana
atasan/pimpinan memperlakukan kita, bagaimana pasangankita memperlakukan
kita, situasi ekonomi, atau kebijakan-kebijakan pemerintah, semuanya
membentuk perkembangan sikap individu.
Sikap merupakan salah satu aspek
psikologi individu yang sangat penting karena sikap merupakan
kecenderungan untuk berperilaku sehingga akan banyak mewarnai perilaku
seseorang. Sikap setiap orang berbeda atau bervariasi, baik kualitas
maupun jenisnya sehingga perilaku individu menjadi bervariasi.
Pentingnya aspek sikap dalam kehidupan individu, mendorong para psikolog
untuk mengembangkan teknik dan instrumen untuk mengukur sikap manusia.
Beberapa tipe skala sikap telah dikembangkan untuk mengukur sikap
individu, kelompok, maupun massa untuk mengukur pendapat umum sebagai
dasar penafsiran dan penilaian sikap.
Dari beberapa teknik atau skala sikap yang dapat digunakan, ada dua skala sikap yang utama dan dikenal sangat luas, yaitu:
Skala Likert
Dalam skala ini disajikan satu
seri pertanyaan-pertanyaan sederhana. Kemudian responden diukur sikapnya
untuk menjawab dengan cara memilih salah satu pilihan jawaban yang
telah disediakan. Yaitu:
Sangat setuju
Setuju
Ragu-ragu/netral
Tidak setuju, dan
Sangat tidak setuju.
Skala Thurstone
Dalam skala ini terdapat
sejumlah pernyataan derajat-derajat kekuatan yang berbeda-beda dan
responden/subjek yang bersangkutan dapat menyatakan persetujuan atau
penolakan terhadap pernyataan-pernyataan tersebut. Butir-butir
pernyataannya dipilih sedemikian rupa sehingga tersusun sepanjang satu
skala interval-sama, dari yang sangat menyenangi sampai yang sangat
tidak menyenangkan.
Hubungan antara Nilai, Moral, dan Sikap
Nilai merupakan dasar
pertimbangan bagi individu untuk sesuatu, moral merupakan perilaku yang
seharusnya dilakukan atau dihindari, sedangkan sikap merupakan
predikposisi atau kecenderungan individu untuk merespon terhadap suatu
objek atau sekumpulan objek debagai perwujudan dari sistem nilai dan
moral yang ada di dalam dirinya. Sistem nilai mengarahkan pada
pembentukan nilai-nilai moral tertentu yang selanjutnya akan menentukan
sikap individu sehubungan dengan objek nilai dan moral tersebut. Dengan
sistem nilai yan dimiliki individu akan menentukan perilaku mana yang
harus dilakukan dan yang harus dihindarkan, ini akan tampak dalam sikap
dan perilaku nyata sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang
mendasarinya.
Bagi Sigmund Freud (Gerald
Corey, 1989), yang telah menjelaskan melalui teori psikoanalisisnya,
antara nilai, moral, dan sikap adalah satu kesatuan dan tidak
dibeda-bedakan. Dalam konsep Sigmund Freud, struktur kepribadian manusia
itu terdiri dari tiga, yaitu:
Id atau Das Es
Ego atau Das Ich
Super Ego atau Da Uber Ich.
Id berisi dorongan naluriah,
tidak rasional, tidak logis, tak sadar, amoral, dan bersifat memenuhi
dorongan kesenangan yang diarahkan untuk mengurangi ketegangan atau
kecemasan dan menghindari kesakitan. Ego merupakan eksekutif dari
kepribadian yang memerintah, mengendalikan dan mengatur kepribadian
individu. Tugs utama Ego adalah mengantar dorongan-dorongan naluriah
dengan kenyataan yang ada di dunia sekitar. Superego adalah sumber moral
dalam kepribadian. Superego adalah kode moral individu yang tugas
utamanya adalah mempertimbangkan apakah suatu tindakan baik atau buruk,
benar atau salah. Superego memprestasikan hal-hal yang ideal bukan
hal-hal yang riil, serta mendorong ke arah kesempurnaan bukan ke arah
kesenangan.
Dalam konteksnya hubungan antara
nilai, moral, dan sikap adalah jika ketiganya sudah menyatu dalam
superego dan seseorang yang telah mampu mengembangkan superegonya dengan
baik, sikapnya akan cenderung didasarkan atas nilai-nilai luhur dan
aturan moral tertentu sehingga akan terwujud dalam perilaku yang
bermoral. Ini dapat terjadi karena superego yang sudah berkembang dengan
baik dapat mengontrol dorongan-dorongan naluriah dari id yang bertujuan
untuk memenuhi kesenangan dan kepuasan. Berkembangnya superego dengan
baik, juga akan mendorong berkembang kekuatan ego untuk mengatur
dinamika kepribadian antara id dan superego, sehingga perbuatannya
selaras dengan kenyataannya di dunia sekelilingnya.
Karakteristik Nilai, Moral, dan Sikap Remaja.
Karena masa remaja merupakan
masa mencari jati diri, dan berusaha melepaskan diri dari lingkungan
orang tua untuk menemukan jati dirinya maka masa remaja menjadi suatu
periode penting dalam pembentukan nilai. Salah satu karakteristik remaja
yang sangat menonjol berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah
sangat diperlukan sebagai pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam mencari
jalannya sendiri untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian
yang semakin matang.
Karakteristik yang menonjol
dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa sesuai dengan tingkat
perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir operasional
formal, yaitu mulai mampu berfikir abstrak dan mampu memecahkan
masalah-masalah yang bersifat hipotesis maka pemikiran remaja terhadap
suatu permasalahan tidak hanya lagi terikat pada waktu, tempat, dan
situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka.
Perkembangan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh
kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada
karena dianggap sebagai suatu yang bernilai, walau belum mampu
mempertanggujawabkan secara pribadi.
Tingkat perkembangan fisik
psikis yang dicapai remaja berpengaruh pada perubahan sikap dan
perilakunya. Perubahan sikap yang cukup menyolok dan ditempatkan sebagai
salah satu karakter remaja adalah sikap menentang nilai-nilai dasar
hidup orang tua atau orang dewasa lainnya. Apabila kalau orang tua dan
orang dewasa berusaha memaksakan nilai-nilai yang dianutnya kepada
remaja. Sikap menentang pranata adat kebiasaan yang ditunjukkan oleh
para remaja merupakan gejala wajar yang terjadi sebagai untuk kemampuan
berfikir kritis terhadap segala sesuatu yang dihadapi dalam realitas.
Gejala sikap menentang pada remaja hanya bersifat sementara dan akan
berubah serta berkembang ke arah moralitas yang lebih matang dan
mandiri.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
Faktor lingkungan yang
berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap individu
mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik
yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Kondisi psikologis, pola interaksi, pola kehidupan beragama, berbagai
sarana rekreasi yang tersedia dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat akan mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap
individu yang tumbuh dan berkembang di dalam dirinya.
Remaja yang tumbuh dan
berkembang dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang penuh
rasa aman secara psikologis, pola interaksi yang demokratis, pola asuh
bina kasih, dan religius dapat diharapkan berkembang menjadi remaja yang
memiliki budi luhur, moralitas tinggi, serta sikap dan perilaku
terpuji. Sebaliknya insividu ytang tumbuh dan berkembang dengan kondisi
psikologis yang penuh dengan konflik, pola interaksi yang tidak jelas,
pola asuh yang tidak berimbang dan kurang religius maka harapan agar
anak dan remaja tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memiliki
nilai-nilai luhur, moralitas tinggi, dan sikap perilaku terpuji menjadi
diragukan.
E. Perbedaan Individu dalam Nilai, Moral, dan sikap.
Sesuatu yang dipandang bernilai
dan bermoral serta dinilai positif oleh suatu kelompok masyarakat sosial
tertentu belum tentu dinilai positif oleh kelompok masyarakat lain.
Sama halnya, sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai
positif oleh suatu keluarga tertentu belum tentu dinilai positif oleh
keluarga lain. Ada suatu keluarga yang mengharuskan para anggota
berpakaian muslimah dan sopan karena cara berpakaian seperti itulah
dipandang bernilai dan bermoral. Akan tetapi, ada keluarga lain yang
lebih senang dan memandang lebih bernilai jika anggotanya berpakaian
modis, trendi, dan mengikuti tren mode yang sedang merak dikalangan
selebritis.
Oleh sebab itu, hal yang wajar
jika terjadi perbedaan individual dalam suatu keluarga atau kelompok
masyarakat tentang sistem nilai, moral, maupun sikap yang dianutnya.
Perbedaan individual didukung oleh fase, tempo, dan irama perkembangan
masing-masing individu. Dalam teori perkembangan pemikiran moral dari
Kohlberg juga dikatakan bahwa setiap individu dapat mencapai tingkat
perkembangan moral yang paling tinggi, tetapi kecepatan pencapaiannya
juga ada perbedaan antara individu satu dengan lainnya meskipun dalam
suatu kelompok sosial tertentu. Dengan demikian, sangat dimungkinkan
individu yang lahir pada waktu yang relatif bersamaan, sudah lebih
tinggi dan lebih maju tingkat pemikirannya.
F. Upaya Pengembangan Nilai, Moral, dan Sikap Seperti Implikasinya bagi Pendidikan
Suatu sistem sosial yang paling
awal beruasaha menumbuhkembangkan sistem nilai, moral, dan sikap kepada
anak adalah keluarga. Ini didorong oleh keinginan dan harapan orang tua
yang cukup kuat agar anaknya tumbuh dan berkembang menjadi individu yang
memiliki dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, mampu membedakan yang
baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang
tidak boleh dilakukan, serta memiliki sikap dan perilaku yang terpuji
sesuai dengan harapan orang tua, masyarakat sekitar, dan agama. Melalui
proses pendidikan, pengasuhan, pendampingan, pemerintah, larangan,
hadiah, hukuman, dan intervensi edukatif lainnya, para orang tua
menanamkan nilai-nilai luhur, moral, dan sikap yang baik bagi
anak-anaknya agar dapat berkembang menjadi generasi penerus yang
diharapkan.
Upaya pengembangan nilai, moral, dan sikap juga diharapkan dapat dikembangkan secara efektif di lingkungan sekolah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Ada tiga konsep yang
masing-masing mempuyai makna, pengaruh, dan konsekuensi yang besar
terhadap perkembangan perilaku individu, termasuk juga perilaku remaja.
1. Nilai
Nilai merupakan sesuatu yang
memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat keputusan mengenai
apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai.
2. Moral
Istilah moral berasal dari kata
Latin Mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau
kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima
tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar.
3. Sikap
Fishbein (1975) mendefenisikan
sikap adalah predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespon
secara konsisten terhadap suatu objek.
Dalam konteksnya hubungan antara
nilai, moral, dan sikap adalah jika ketiganya sudah menyatu dalam
superego dan seseorang yang telah mampu mengembangkan superegonya dengan
baik, sikapnya akan cenderung didasarkan atas nilai-nilai luhur dan
aturan moral tertentu sehingga akan terwujud dalam perilaku yang
bermoral.
Faktor lingkungan yang
berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap individu
mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik
yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Suatu sistem sosial yang paling
awal beruasaha menumbuhkembangkan sistem nilai, moral, dan sikap kepada
anak adalah keluarga. Melalui proses pendidikan, pengasuhan,
pendampingan, pemerintah, larangan, hadiah, hukuman, dan intervensi
edukatif lainnya, para orang tua menanamkan nilai-nilai luhur, moral,
dan sikap yang baik bagi anak-anaknya agar dapat berkembang menjadi
generasi penerus yang diharapkan.
Ali, Mohammad dan Asrori, Muhammad, 2006, Psikologi Remaja, Jakarta:PT Bumi Aksara.
Corey, Gerald, 2009, Teori dan Praktek KONSELING DAN PSIKOTERAPI, Bandung: PT Refika Aditama
Hurlock, Elizabeth B. 1980, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Erlangga,
Panuju, Panut dan Umami, Ida, 1999, Psikologi Remaja, Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Setyoningtyas, Emila, Kamus Trendy Bahasa Indonesia, Surabaya: Apollo
http://www.anakciremai.com/2008/07/makalah-psikologi-tentang-moral-dan.htmn
------------------
Mohammad Ali dan Muhammad Asrori, Psikologi Remaja, (Jakarta:PT Bumi Aksara, 2006), hal. 134.
Emila Setyoningtyas, Kamus Trendy Bahasa Indonesia, (Surabaya: Apollo), hal.316.
Panut Panuju dan Ida Umami, Psikologi Remaja, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1999), hal. 139.
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, 1980), hal. 240.
http://www.anakciremai.com/2008/07/makalah-psikologi-tentang-moral-dan.htmn
Mohammad Ali dan Muhammad Asrori, Op,Cit., hal.144.
Gerald Corey, Teori dan Praktek KONSELING DAN PSIKOTERAPI, (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), hal. 14-15.
Mohammad Ali dan Muhammad Asrori, Op, Cit., hal.145.
Mohammad Ali dan Muhammad Asrori, Op, Cit., hal.146.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad dan Asrori, Muhammad, 2006, Psikologi Remaja, Jakarta:PT Bumi Aksara.
Corey, Gerald, 2009, Teori dan Praktek KONSELING DAN PSIKOTERAPI, Bandung: PT Refika Aditama
Hurlock, Elizabeth B. 1980, Psikologi Perkembangan, Jakarta: Erlangga,
Panuju, Panut dan Umami, Ida, 1999, Psikologi Remaja, Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Setyoningtyas, Emila, Kamus Trendy Bahasa Indonesia, Surabaya: Apollo
http://www.anakciremai.com/
------------------
Mohammad Ali dan Muhammad Asrori, Psikologi Remaja, (Jakarta:PT Bumi Aksara, 2006), hal. 134.
Emila Setyoningtyas, Kamus Trendy Bahasa Indonesia, (Surabaya: Apollo), hal.316.
Panut Panuju dan Ida Umami, Psikologi Remaja, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1999), hal. 139.
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan, (Jakarta: Erlangga, 1980), hal. 240.
http://www.anakciremai.com/
Mohammad Ali dan Muhammad Asrori, Op,Cit., hal.144.
Gerald Corey, Teori dan Praktek KONSELING DAN PSIKOTERAPI, (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), hal. 14-15.
Mohammad Ali dan Muhammad Asrori, Op, Cit., hal.145.
Mohammad Ali dan Muhammad Asrori, Op, Cit., hal.146.