NAMA : ELIYONA BAENE
MAKALAH BAB III
SAYA DAN ISTRIKU REFRESING SWIMMING POOL ANYER
BAB III
SEJARAH PEKABARAN INJIL BAGI
PERTUMBUHAN GEREJA BANUA NIHA KERISO PROTESTAN (BNKP) HOYA EWO NIAS SELATAN
1.1.
Selayang Pandang Pulau Nias
Nias
( tano niha ) adalah
gugusan pulau yang jumlahnya mencapai 132 pulau, membujur di lepas pantai barat
Sumatra menghadap Samudra Hindia. Tidak semua pulau-pulau tersebut berpenghuni.
Hanya ada sekitar lima pulau besar yang dihuni oleh manusia, yaitu Pulau Nias
(9.550 km²), Pulau Tanah Bala (39,67 km²), Pulau Tanah Masa (32,16 km²), Pulau
Tello (18 km²), dan Pulau Pini (24,36 km²). Di antara kelima pulau tersebut,
Pulau Niaslah yang berpenghuni paling padat, dan menjadi pusat kegiatan ekonomi
dan pemerintahan.[1]
Pulau Nias bentuknya memanjang dari utara keselatan, walaupun Pulau Nias
tersebut di sebut kecil tetapi penduduknya padat dan penuh dengan kekayaan alam
dan masih banyak tanah yang masih Kosong yang belum ditempati atau yang belum
di manfaatkan.
1.1.1.
Sejarah
Pulau Nias
Kata
Tanö Niha yang akhirnya selalu
menjadi sebutan bagi Pulau Nias. Tanö
berarti “tanah, bumi” dan Niha
artinya “manusia, orang”. Sehingga Tanö
Niha berarti tanah atau bumi manusia. Penduduknya selalu menyebut
dirinya sebagai Ono Niha. Ono
artinya “anak” atau “manusia” sehingga Ono Niha berarti “anak manusia”.
Sedangkan orang lain yang bukan Nias disebut dengan Ndrawa (orang
asing, orang luar Nias), misalnya Ndrawa Aceh (orang Aceh), Ndrawa Hulöndra
(orang Belanda) . Kecuali orang Cina yang dipanggil dengan Gehai (Kehai).
Mengenai asal usul kata Nias,
menurut E. Fries (seorang
misionaris) besar kemungkinan adalah sebutan dari Ndrawa (orang Asing) baik
orang Melayu, Eropa, dll yang kurang bisa mengeja kata Niha. Menurut Tuhoni
Telaumbanua, orang Nias telah lama mendiami Pulau Nias. Mereka juga
beradaptasi dengan suku bangsa lain seperti Minang, Aceh, Batak, Bugis bahkan
dari luar negeri seperti Cina, Persia, Belanda, Arab, dll. Dari sini muncul
berbagai teori tentang asal usul orang Nias berdasarkan persamaan kulit,
budaya, tradisi, bahasa, dsb. Namun secara umum orang Nias memiliki kulit
kuning langsat, mata agak sipit, tinggi rata-rata 150-170 cm. Dari ciri-ciri
fisik ini tidak jarang orang Nias baik yang ada di Nias terlebih
diperantauan, orang menyebut mereka seperti keturunan Cina, Korea atau Jepang.
Pulau Nias adalah pulau yang
memiliki ciri khas yang berbeda-beda marga dengan berbagai macam jenis marga
yaitu di susun secara Abjad: Amazihönö. Amuata, Baeha, Baene, Bate'e,
Bawamenewi, Bawaniwa'ö, Bawö, Bali, Bohalima, Bu'ulölö, Buaya, Bunawölö,
Bulu'aro, Bago, Bawa'ulu, Bidaya, Bazikho, Baewa, Dachi, Daeli, Daya, Dohare,
Dohöna, Duha, Duho, Dohude, Dawölö Fau, Farasi, Finowa'a, Fakho,
Fa'ana,Famaugu, Fanaetu Falakhi, Gaho, Garamba, Gea,
Ge'e, Giawa, Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae, Gori, Gari, Gaidö, Halawa,
Hala Wawa, Hadiranto, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondrö, Hulu, Humendru, Hura,
Hoya, Harimao,Halu, Lafau, Lahagu, Lahömi, La'ia, Luaha, Laoli, Laowö, Larosa,
Lase, Lawölö, Lo'i, Lömbu, Lamölö, Lature, Luahambowo, Lazira, Lawelu, Laweni,
Lasara, Laeru, Löndu go'o, Lugu, Maduwu, Manaö, Maru'ao, Maruhawa, Marulafau,
Mendröfa, Maruabaya, Möhö, Marunduri, Mölö, Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe,
Nakhe, Nadoya, Ote, Sadawa, Sa'oiagö, Sarumaha, Saro, Sihönö, Sihura, Sisökhi,
Saota, Taföna'ö, Telaumbanua, Talunohi, Tajira, Wau, Wakho, Waoma, Waruwu,
Wehalö, Warasi, Warae, Wohe, Zagötö, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamago, Zamili,
Zandroto, Zebua, Zega, Zendratö, Zidomi, Ziliwu, Ziraluo, Zörömi, Zalögö,
Zamago zamauze.[2]
Marga inilah yang disebut marga keturunan yang turun temurun yang tidak bisa
hilang dari orang Nias, marga ini berasal nama leluhur dan turun temurun dari
kakek, ayah, anak dan cucu dan cici.
1.1.2.
Tradisi dan Budaya Nias.
a. Makanan Khas Nias
Pula Nias
Mmemiliki ciri khas makanan yaitu:
1.
Gowi
Nihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk)
2.
Harinake
(daging babi cincang dengan cacahan yang tipis dan kecil-kecil)
3.
Godo-godo
(ubi / singkong yang diparut, dibentuk bulat-bulat kemudian direbus setelah
matang di taburi dengan kelapa yang sudah di parut)
4.
Köfö-köfö(daging
ikan yang dihancurkan, dibentuk bulat dan dijemur/dikeringkan/diasap)
5.
Ni'owuru
(daging babi yang sengaja di asinkan agar bisa bertahan lama)
6.
Ratigae
(pisang goreng)
7.
Tamböyö
(ketupat)
8.
löma
(beras ketan yang dimasak dengan menggunakan buku bambu)
9.
gae
nibogö (pisang bakar)
10.
Kazimone
(terbuat dari sagu)
11.
Wawayasö
(nasi pulut)
12.
Gulo-Gulo
Farö (manisan dari hasil sulingan santan kelapa)
Peralatan Rumah Tangga di Nias
1.
Bowoa
tanö - periuk dari tanah liat, alat masak tradisional
2.
Figa
lae - daun pisang yang dipakai untuk menjadi alas makanan
3.
Halu
(alat menumbuk padi) – AlLösu – lesungGala - dari kayu seperti tala
b. Peribahasa Nias (Amaedola Nias)
1.
Hulö
ni femanga mao, ihene zinga (Bagaikan kucing yang sedang makan di mulai dari
pinggiran) Artinya: Dalam melakukan sesuatu hal, di mulai dengan hal yang mudah
ke yang sulit.
2.
Hulö
la'ewa nidanö ba ifuli fahalö-halö (Bagaikan air di potong-potong tetap bersatu
kembali) Artinya: Sesuatu yang tidak bisa untuk di pisahkan.
3.
Abakha
zokho safuria moroi ba zi oföna (Lebih dalam luka terakhir dari pada luka yang
pertama) Artinya: Sesuatu tindakan akan
sangat terasa pada akhirnya.
c. Minuman
1.
Tuo
nifarö (tuak) adalah minuman yang berasal dari air sadapan pohon nira (dalam
bahasa Nias "Pohon Nira" = "töla nakhe" dan pohon kelapa
(dalam bahasa Nias "Pohon Kelapa" = "töla nohi") yang telah
diolah dengan cara penyulingan. Umumnya Tuo nifarö mempunyai beberapa tingkatan
(bisa sampai 3 (tiga) tingkatan kadar alkohol). Dimana Tuo nifarö No. 1 bisa
mencapai kadar alkohol 43%.
2.
Tuo
mbanua (minuman tuak mentah yang berasal dari air sadapan pohon kelapa atau
pohon nira yang telah diberi 'laru' berupa akar-akar tumbuhan tertentu untuk
memberikan kadar alkohol)
d. Budaya Nias
2.
Fatele/faluaya (Tari Perang)
4.
Tari
Moyo (Tari Elang)
6.
Fangowai
(Tari sekapur sirih/penyambutan tamu)
8.
omo
hada (Rumah Adat)
9.
Fame’e
Toi nono nihalo (Pemberian nama bagi perempuan yang sudah menikah)
10.
Fasoso Lewu’o (Menggunakan adu bambu untuk
menguji kekuatan pemuda Nias)
Dalam
budaya Ono Niha (Nias) terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang
termakna dalam salam “Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia
“semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna:
memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih
Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian,
tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian,
berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang
lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan
orang lain (yang diucapkan : Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang tidak
terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi
makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam
damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan
untuk pengembangan hidup bersama.[3]
Kata Yaahowu di kenal di mana orang Nias memberi salam terhadap sesama sukunya
dan memakai bahasa Nias.
1.1.3. Visi Pulau Nias
Berdasarkan Peraturan Daerah
Kabupaten Nias Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) Kabupaten Nias 2006-2011, telah ditetapkan Visi Pembangunan
Daerah Tahun 2011-2015 yang merupakan cita-cita yang ingin dicapai yaitu:
“Terwujudnya Masyarakat Kabupaten Nias Yang Berkeadilan, Sejahtera, Dan Mandiri
Yang Dilayani Oleh Pemerintah Yang Bersih Dan Responsif”.
Berkeadilan : Mengandung arti perwujudan pelayanan
dan pembangunan yang adil dan merata, tanpa diskriminasi baik antar individu,
gender, maupun antar wilayah, sehingga hasil dari pembangunan dapat dinikmati
oleh seluruh lapisan masyarakat Kabupaten Nias.
Sejahtera : Mengandung makna bahwa kondisi semua
lapisan masyarakat secara menyeluruh dapat terpenuhi hak-hak dasarnya, terbebas
dari kemiskinan, kemelaratan hidup dan buta aksara, serta sehat jasmani dan
rohani.
Mandiri: Kondisi dimana masyarakat dan daerah
memiliki kehidupan yang sejajar dengan masyarakat dan daerah lainnya yang telah
maju dengan mengandalkan kemampuan dan kekuatan sendiri, serta memiliki daya
saing dan kesiapan menghadapi era globalisasi
Dilayani
oleh pemerintah yang bersih dan responsif : Mengandung makna bahwa pemerintah
adalah pelayan masyarakat, imana penyelenggaraan pemerintahan dilakukan
secara bertanggungjawab, tertib administrasi dan tertib anggaran, bebas dari
kolusi, korupsi dan nepotisme, dengan kebijakan yang selalu berpihak kepada
kepentingan rakyat serta tanggap terhadap permasalahan masyarakat.[4]
1.1.4. Misi Pulau Nias
Misi Daerah Kabupaten Nias Tahun 2011 – 2015 yaitu :
1. Menyelenggarakan tata kelola
pemerintahan yang baik, bersih dan efektif (Good Governance and Clean
Gorvernment)
2. Peningkatan pelayanan pendidikan dan
kesehatan yang berkualitas, terjangkau dan berkeadilan.
3. Peningkatan kualitas dan
ketersediaan Infrastruktur wilayah dan prasarana daerah.
4. Meningkatkan perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat.
5. Mengembangkan kehidupan masyarakat
Nias yang religius, berbudaya dan taat hukum.[5]
Inilah
visi dan misi yang wujudkan pemerintah orang Nias dalam kebersamaan, dengan
visi dan misi inilah yang membuat orang Nias semakin dekat kebersamaannya dalam
ras yang berbeda.
1.2.
Sejarah sebelum Misionaris atau Pekabaran Inji datang ke Nias
Sebelum datangnya berita Injil di
Nias yang nantinya melahirkan satu lembaga
gereja BNKP, orang Nias memiliki satu agama suku yang disebut dengan agama
“penyembah roh” atau agama Pelebegu yang artinya “penyembah
patung” (Mosuno Adu). Sebagai alat untuk penyembahan, mereka membuat
patung-patung kayu yang disebut adu. Ono Niha (Pulau Nias)
adalah suku tertua yang mendiami seluruh kepulauan Nias, yang diperkirakan para
leluhur telah bermukim dan menyebar di pulau Nias ribuan tahun yang lalu. Kehidupan
masyarakat cukup memprihatinkan karena kemiskinan, ketiadaan pendidikan, dan sering
dilanda oleh wabah penyakit yang membinasakan, seperti diare, TBC, malaria, dan
sebagainya. Tiada andalan mereka selain ”Fo’ere ba Adu” (Imam, dukun).
Patung-patung
kayu ini dipercaya sebagai tempat roh leluhur disebut adu satua (patung
leluhur), sehingga harus dirawat dengan baik. Sebagai tempat ibadah yang mana
patung-patung ini ditempatkan dibangun satu tempat atau rumah yang disebut osali
(kata ini nantinya dipakai untuk Gereja dalam bahasa Nias). Untuk
menyampaikan segala permohonan, keluhan, pergumulan kepada para roh leluhur
membutuhkan seorang penghubung yang disebut dengan ere (imam, dukun).
Inilah tugas Ere (Imam, dukun) perantaran orang Nias jika memberi dan
menyampaikan keluhannya dalam apa yang di minta dan di beri kepada Tuhan dalam
permohonannya. Selain itu, bagi orang Nias, semuanya nilai, norma dan tata
kehidupan masyarakat diatur dalam dan melalui Fondrakö (Nias) atau di Nias Selatan disebut Famatö Harimo/Famadaya Saembu (nama
yang populer). Fondrakö berarti menetapkan artinya semua
aturan ditetapkan dalam musyawarah bersama. Yang mengikuti akan selamat, namun
yang tidak taat akan menerima kutukan. Melihat dari esensinya Fondrakö ini
mirip dengan Hukum Taurat bagi orang Yahudi. Orang Nias sangat taat dan takut
dengan fondrakö ini sehingga susah menerima Injil. Sama halnya dengan
ajaran-ajaran Yesus yang tidak berterima bagi orang Yahudi.
1.3.
Sejarah Tibanya Misionaris (Pekabaran Injil)
Datang Ke Nias
Pada tahun 1822/1823 pernah datang
utusan Mission Etrangers (badan Misi Katolik Roma), bernama Pere Wallon dan Pere Barart, tetapi baru
tiga hari setelah berada di Lasara, Gunungsitoli salah seorang meninggal dunia
dan tiga bulan kemudian yang seorang lagi meninggal dunia, sehingga belum
sempat ada buah pelayanan dari misi mereka. Pekabaran Injil
di Nias dimulai dengan satu nama yang seolah-olah terukir indah dengan tinta
mas dalam lembaran sejarah gereja di Pulau Nias. Nama itu ialah ERNST LUDWIG
GENNINGER, salah seorang lulusan Bassel
Missions Seminarie, Ia diutus oleh
RMG (Rheinische Missions Gesselschaft) dari Jerman. Denninger berasal dari Berlin-Jerman. Ia lahir
pada tanggal 4 Desember 1815. Ia seorang yang aktif dalam “kebangunan Rohani”,
sehingga pada Usia 28 Tahun ia tertarik menjadi Misionaris. Ia melamar pada
badan zending RMG di Barmen Jerman, dan setelah diterima, ia dididik menjadi
misionaris di Sekolah Zending RMG di Barmen. Setelah menamatkan sekolah
zending, pada tahun 1847 ia ditahbis dan diutus menjadi misionaris di Borneo
(Kalimantan) di tengah masyarakat Dayak. Pusat Pekabaran Injil waktu itu
bertempat di Gohong-Kalimantan. Setelah 12 tahun melayani di Borneo dan telah
mulai menampakkan hasil dengan adanya orang yang dibaptis, tetapi pada tahun
1859, terjadi “pemberontakan Hidayat” yang menyerang semua orang berkulit putih
karena dianggap penjajah, termasuk para misionaris. Ada 9 orang dari kalangan
misionaris, isteri dan anak yang mati terbunuh. Denninger dan beberapa
misionaris lainnya sempat melarikan diri, sehingga lepas dari bahaya kematian.
Mereka mengungsi ke Semarang – Jawa Tengah. Lalu badan zending RMG memutuskan
mengutus mereka ke Tanah Batak untuk melakukan pelayanan Pekabaran Injil,
termasuk Denninger.
RMG
memberi tugas kepada Denninger untuk melayani di Barus, sehingga pada tanggal
20 Oktober 1861 ia bertolak dari Batavia menuju Padang dan tiba pada tanggal 21
Nopember 1861. Tetapi, ia tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Tanah Batak,
karena di Padang isterinya sakit keras. Terpaksa mereka tinggal di Padang
dengan menyewa sebuah rumah sangat sederhana di kampung Cina – Padang. Di sana
ia bertemu dengan Ono Niha (orang Nias)
yang jumlahnya cukup banyak waktu itu. Ia sering berbicara dengan mereka
dan bahkan mempelajari bahasa Nias. Perjumpaan dan interaksi dengan Ono Niha
(orang Nias) di Padang inilah yang telah membuat dia sangat tertarik untuk
datang dan bermisi di Nias.[6]
Karena ketika ketemu dengan orang Nias di Padang, maka penginjil ini mengetahui
sifat dan karakter orang-orang Nias yang ada di padang waktu itu, Ernest Ludwig
Denninger sangat senang dengan orang Nias ketika bertemu di padang sehingga di
Padang membuka Pos Pekabaran Injil untuk orang Nias dan dia melayani sendiri.
Peristiwa
di Borneo dan penderitaan di Padang
telah membawa “berkat” bagi Ono Niha (Pulau Nias). Semua yang
dialami oleh Denninger merupakan tanda dari Allah, tanda keselamatan bagi orang
Nias. Walaupun belum ada persetujuan dari badan misi RMG untuk bermisi di Nias,
namun karena keinginan dan tekadnya ke Nias, Denninger mengurus izin dari
Gubernur Jenderal di Batavia, sehingga pada tanggal 11 Agustus 1865 ia bertolak
dari Padang ke Sibolga lalu ke Nias, dan menginjakkan kaki di Pulau Nias. Keluarga
missionaris tersebut mendarat di Pelabuhan Gunungsitoli pada jam 9 pagi hari
Rabu, 27 September 1865. Dari pelabuhan mereka diantar langsung ke rumah Salawa
Yawaduha di Hilina’a. Dan pada hari itu juga Denninger mulai mengabarkan Injil
kepada penduduk yang datang berkumpul melawat mereka. Pada awal ia tiba ia tinggal di
rumah sekretaris pemerintah Belanda, tetapi kemudian ia membeli sebuah rumah di
Gunungsitoli, dengan harga 600 gulden (dolar). Di sanalah dia dan keluarganya
tinggal, bersama anaknya Carolina dan Elias Denninger.
Sebab itu
Pendeta, Evangelis
ERNST LUDWIG DENNINGER-lah yang diakui dan diterima sebagai Rasul Pertama di
tengah-tengah Suku Nias. Hasil pelayanan ERNST LUDWIG DENNINGER mengabarkan Injil
di Nias sudah dapat dilihat dan
dirasakan sekarang ini. Dengan tekun Ia telah melakukan tugas pengutusannya,
sampai ia meninggal dunia pada tahun 1876 karena suatu penyakit dan dimakamkan
di Batavia (Kota Jakarta masa kini).[7] Beliau ini sangat tertulis namanya
yang Indah di sejarah orang Nias, walaupun dia sudah meninggal dunia tapi
sampai sekarang sudah terlihat hasil penginjilannya di Nias.
1.4.
Masa Perkembangan Berita Injil di Nias
Denninger memulai pekerjaan dengan
meningkatkan pengetahuan dan kecakapan bahasa Nias, apalagi karena bahasa yang
dipelajarinya di Padang lebih bercorak dan berdialeg Nias Selatan. Ia terus
belajar melalui interaksi dengan Ono Niha. Setelah bisa berkomunikasi, walaupun
sangat terbatas, ia memulai dengan pendidikan. Ia mengumpulkan anak-anak
dan mengajar mereka tentang menulis, membaca dan berhitung. Selain pendekatan
pendidikan, ia juga membantu masyarakat yang menderita berbagai penyakit,
dengan memberikan obat-obatan sambil berdoa. Dalam melakukan pelayanan kesehatan
ia sering bertentangan dengan para ”Ere” atau ”dukun” yang juga melakukan
penyembuhan dengan ritus-ritus terhadap Adu dan memantra obat-obat tradisional
yang digunakan. Denninger juga melakukan perkunjungan kepada para Salawa sambil
memberitakan kabar baik.
Setelah 6 tahun melakukan pelayanan,
maka pada suatu minggu di bulan april 1871 – terdapat sekitar 140 orang yang
datang mengikuti kebaktian minggu yang dipimpin oleh L.E. Denninger. Orang Nias
mau datang, tetapi dengan harapan bahwa selesai kebaktian mereka akan mendapat
tembakau, obat-obatan dan uang sebesar 3 rimis (3 rupiah).
Sedikit
melegakan hati Denninger karena hasil pelayanannya berhasil maka RMG mulai memberi perhatian ke Nias dengan
mengutus Wihlem Thomas yang tiba di Nias tanggal 14 Februari 1872 dan
disusul oleh Friedrich Kramer pada tanggal 1 April 1873. Inilah yang membantu
Denninger, baik di sekolah maupun di pelayanan Pekabaran Injil. Memang sulit,
tetapi pada akhirnya, hati orang Nias terbuka untuk Injil. Masyarakat asal Hilina’a
dan Onozitoli sebanyak 25 orang (termasuk keluarga Salawa Yawaduha) memberi
diri dibaptis pada kebaktian Paskah, tanggal 5 April 1874 di Gereja (Lods)
Gunungsitoli. Pembaptisan ini dilaksanakan oleh Denninger (untuk 12 orang) dan
oleh Kramer (bagi 13 orang). Inilah orang Nias yang ada di Nias yang pertama
sekali menerima Injil dan memberi diri dibaptis menjadi Kristen. Tidak berhenti
sampai di sana, semasih Denninger berada di Nias, pada tanggal 23 Agustus 1874
terdapat 19 orang yang telah mengikuti katekisasi, memberi diri dibaptis.
Peristiwa ini menyukakan hati Denninger, sehingga ia mendesak RMG untuk
meningkatkan jumlah missionaries yang diutus melayani di Nias.
Sungguh
besar jasa Denninger bagi kekristenan di Nias. Selain berhasil membaptis, ia
juga sempat membuat materi pelajaran bagi anak-anak dan menerjemahkan Alkitab,
khusus Injil Lukas. Setelah itu, Denninger yang sudah berumur 60 tahun mulai
menderita penyakit, sehingga ia pergi cuti ke Batavia pada tahun 1875. Ia
tinggal di rumah menantunya (suami Carolina, seorang pegawai pemerintah Belanda
yang sudah pindah dari Nias ke Bogor). Pada awalnya hanya rencana cuti
dan masih ada keinginan melanjutkan pelayanan Missi di Nias, namun karena
penyakit yang parah dan tak terobati, akhirnya L.E. Denninger meninggal dunia
pada tanggal 22 Maret 1876, serta dikebumikan di kuburan dekat anaknya tinggal,
yakni di wilayah Bogor. Kalau melihat perjalanan misi di Nias, maka dapat
dipetakan sebagai berikut: Pada 25 tahun pertama (1865-1890), kekristenan di
Nias hanya dapat berkembang di wilayah pemerintahan sipil Belanda, yang disebut
Rapatgebiet. Jemaat berdiri di Gunungsitoli, Dahana, Ombölata dan Faekhu. Sudah
dicoba di beberapa tempat di luar rapat gebiet, yakni di Fagulo dan
Bawolowalani, tetapi gagal dan Ono Niha di wilayah tersebut bertahan dengan
kepercayaan dan kebudayaan lama. Tetapi pada kurun waktu 25 tahun kedua
(1890-1915), seiring dengan penetrasi Kolonial Belanda ke pedesaan dengan
menumpas para pemberontak dan membuka jalan dengan rodi, maka usaha Pekabaran
Injilpun masuk ke berbagai wilayah kepulauan Nias. Untuk wilayah utara misi
masuk ke Bo’usö, Awa’ai, Sowu dan kemudian Hilimaziaya sebagai pusat
penginjilan di sekelilingnya. Di belahan Timur, misi masuk melalui Humene –
Sogae’adu – Bawalia. Di bagian tengah, misi masuk melalui Lölöwua dan
Sifaoro’asi. Ke wilayah barat, misi penetrasi ke Tugala-Lahömi/Fadoro, Lahusa,
Lolowa’u, Lahagu – Oyo, Lolomoyo dan kemudian Lawelu. Sedangkan kebelahan
Nias Selatan, misi masuk melalui Hilisimaetanö dan Sa’ua; sedangkan ke
pulau-pulau Batu, misi dari Badan Misi Lutheran Belanda yang melayani di
sana.[8]
Di Mulai dari sinilah masuk penginjilan di bagian Nias selatan walaupun
penginjilan belum di terima disana waktu itu tetapi karena sulit dengan agama
sukunya maka waktu itu dengan adanya penginjil yang di utus dari RMG dari
Jerman maka ketika di utus di situ maka secara perlaha-lahan injil di terima
disitu dengan strategi dari pendekatannya terhadap masyarakat Nias Selatan
Pada
25 tahun ketiga (1916-1940) yang dikenal dengan akhir zaman zending,
kekristenan di Nias berkembang sangat pesat yang didukung oleh gerakan
pertobatan massal yang menyebar di seluruh kepulauan Nias pada tahun 1916-1930.
Pada tahap 25 tahun terakhir inilah Ono Niha secara keseluruhan meninggalkan
agama lamanya, dan masuk agama Kristen, yang dilembagakan melalui sidang sinode
1 tahun 1936, dengan nama Banua Niha Keriso Protestan (BNKP). Akhir zaman
zending ini adalah tahun 1940, ketika terjadi Perang Dunia Kedua, dimana
seluruh misionaris ditawan oleh tentara belanda dan kembali ke negerinya.
Dengan demikian, sejak tahun 1940 hingga sekarang BNKP dipimpin, digembalakan
dan dilayani oleh Ono Niha.
1.4.1. Masa Permulaan Pekabaran Injil yang
sulit
Pada awalnya memang sulit merobah
kepercayaan asli orang Nias karena telah mengakar dalam diri mereka. Hal ini
ditambah pada saat itu orang Nias sedang berada di bawah pemerintahan kolonial
Belanda dengan ciri-ciri umum berkulit putih, rambut pirang dan tinggi
besar. Sehingga pandangan mereka setiap orang dari luar yang memiliki ciri-ciri
di atas termasuk misionaris dianggap sebagai bagian dari kolonialisme Belanda.
Kondisi ini ditambah dengan masih terisolirnya daerah-daerah di Nias dan setiap
kampung tertutup dengan dunia luar. Belum lagi persoalan wabah penyakit malaria
yang memang tinggi di Nias pada saat itu hingga sekarang ini. Usaha pekabaran Injil di Nias mula-mula berasal dari misi
Katolik dari Prancis, yaitu Missions
Etrangers de Paris pada tahun 1922-1923. Mereka mengutus 2 (dua) orang
Pastor, bernama Pere Wallon dan Pere Barart seperti yang tertera di
atas, Misi ini tidak berhasil karena keduanya jatuh sakit akibat wabah
penyakit malaria dan salah seorang dari mereka meninggal dunia setelah 3 (tiga)
hari tinggal di sana dan 3 (tiga) bulan berikutnya menyusul yang seorang lagi. Barulah pada tahun 1965, seorang penginjil Jerman, bernama Ernest Ludwig Denninger tiba di
Gunungsitoli pada tanggal 27 September 1865. Dia adalah utusan dari badan
Zending, Rheinische
Missions-Gesselschaft (RMG) Barmen, Jerman (tahun 1971 menjadi VEM, sekarang UEM)[9]
Awalnya Denninger bertugas di Kalimantan. Sehubungan sedang terjadi Perang
Hidayat di sana, dia beserta 9 (sembilan) orang misionaris lainnya melarikan
diri dan mereka tiba di Padang (Sumatera Barat).
Ketika teman-temannya yang lain
melanjutkan misi Kristus ke tanah Batak, Dennigger tinggal di Padang, oleh
karena istrinya sakit keras. Di sana dia bertemu dengan orang-orang perantauan
dari Nias (± 3000 orang), bergaul dengan mereka dan tertarik untuk datang ke
Nias. Sehingga, Denninger belajar bahasa Nias. Dalam pertemuannya dengan orang
Nias di Padang pada tahun 1863, dia pernah melakukan pembaptisan kepada seorang
anak perempuan Nias, berumur 17 tahun. Nama kecilnya adalah “Ara”, dan setelah dibaptiskan diberi
nama oleh Tuan Denninger, Gertruida
Christina[10].
Dan akhirnya dia mengambil keputusan untuk melayani di Nias, sehingga pada
tanggal 27 September 1965, Tuan E. Deninger tiba di Gunungsitoli. Tanggal
kedatangannya ini oleh gereja-gereja di seluruh Pulau Nias menjadikannya
sebagai awal masuknya Injil di Pulau Nias atau yang disebut Yubileum dan
diperingati setiap tahun.
Denninger merasa bahwa keberhasilan
dalam pekabaran Injil di tengah-tengah orang Nias salah satunya melalui
pendidikan selain kesehatan, diakonia (pemberian makanan, tembakau, pakaian,
dll) dan pembangunan ekonomi masyarakat (salah satunya cara bercocok tanam yang
baik). Itulah sebabnya pada tahun 1866, Deninger, membuka Sekolah Anak-Anak di
Gunungsitoli. Dia mengajar mereka membaca dan menulis. Muridnya hanya 6 (enam)
orang, salah satunya adalah Kaneme, anak seorang Salawa
(bangsawan). Namun mereka datang hanya karena senang dengan “pemberian”
Denninger. Sehingga mereka belum siap untuk dibaptis. Pada saat
itu juga, Denninger mulai menterjemahkan Injil Lukas dan Yohanes dalam bahasa
Nias, yang menjadi kekuatannya dalam mengabarkan Injil.
Pada tahun 1872 datang seorang lagi
missionaris dari RMG, Jerman, yaitu J.W. Thomas. Untuk sementara waktu, dia tinggal
bersama dengan Denninger di Gunungsitoli untuk belajar bahasa Nias. Kemudian,
dia pindah ke Ombolata. Tahun 1873 datang lagi seorang missionaris yaitu Friedrich
Kramer. Dan Kramer inilah
yang membaptiskan pertama sekali orang Nias menjadi Kristen yaitu sebanyak 25
orang di Desa Hilina’a atas nama Yawa
Duha (Kepala Kampung Hilina’a), beserta keluarganya. Hal ini
terjadi pada tanggal 05 April 1874 bertepatan dengan Paskah.
Pada tanggal, 08 Agustus 1875,
terjadi perpisahan kepada Denninger, oleh Thomas dan Kramer beserta semua
yang telah dibaptis. Pada saat inilah diadakan sakramen Perjamuan Kudus yang
pertama sekali di gereja Nias (± 100 orang). Dua hari kemudian, pada tanggal 10
Agustus 1875, Tuan Deninger, meninggalkan Nias menuju Batavia (Jakarta
sekarang), oleh karena kondisi kesehatan yang kurang baik. Satu tahun kemudian,
tepatnya tahun 22 Maret1876, Denninger meninggal di sekitar wilayah Bogor. Oleh
Kramer, Denninger diberikan julukan, “Ama
Halõwõ Zamatenge Ba Danõ Niha”[11]
(Bapa Pemberita Injil di Nias) . Namun satu hal yang perlu dicatat bahwa
sampai sekarang, foto Denninger tidak pernah diketemukan. Dan sebagai tanda
untuk mengingat dirinya salah satu gereja diberi nama Denninger, yaitu Jemaat
BNKP Denninger, yang berada di Tohia, Gunungsitoli, kurang lebih 2 km dari
pusat kota Gunungsitoli.
Pada tahun 1876 datang Dr. W.H. Sunderman di Gunungsitoli,
dan dia langsung belajar bahasa Nias. Kemudian pada 1886 dia tinggal di
Lõlõwua sampai tahun 1902. Selama di Lõlõwua, Sundermann menterjemahkan Alkitab
dalam bahasa Nias seperti yang kita kenal sampai sekarang dan selesai pada
tahun 1908. Demikian juga buku Agende atau liturgi gerejani dari bahasa Jerman
ke bahasa Nias, dan Katekhismus Luther.
Buah dari pekerjaan para misionaris
ini mulai tampak ketika pada tahun 1876 berdiri Gereja pertama di Nias,
di Ombõlata. Kemudian untuk membantu mereka pada tahun 1895 pada
bulan Maret dibuka Sekolah Guru Injil pertama di Ombolata.
Pada tahun 1881 datang lagi
misionaris kelima bernama J.A. Fehr. Dia ini yang mengantikan J.W.
Thomas di Ombõlata pada tahun 1883, sebab J.W. Thomas pergi berusaha membuka
pos Pekabaran Injil di Sa’ua (Nias Utara), meskipun usahanya itu ternyata
gagal. Walaupun banyak kesulitan yang
dialami serta jangkauan Pekabaran Injil yang dapat dicapai tidak begitu luas,
namun dalam periode ini telah berhasil dibaptis sebanyak 699 orang (148 orang
di Gunungsitoli, 348 orang di Ombõlata dan 203 orang di Dahana). Juga diantara
mereka telah dipilih beberapa orang menjadi penatua. Daerah yang dicapai hanya
di sekitar Gunungsitoli saja, dengan 3 Pos Pekabaran Injil yaitu Gunungsitoli,
Ombõlata, dan Dahana. Pada masa ini juga dibangun gereja pertama di Nias di
Ombolata pada tahun 1876.
1.4.2. Masa Perluasan/penyebaran Injil
Usaha Pekabaran Injil pada periode
ini ternyata mengalami kemajuan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Pada
periode ini berhasil masuk di Nias bagian Tengah sampai ke Nias bagian
Barat, Pantai sebelah Timur sampai di Nias bagian Selatan, Nias bagian Utara
dan di Pulau-pulau Batu, Perluasan
sampai tahun 1890, Selama 25 tahun pertama (1865-1890), usaha pI
di Nias tetap terbatas pada daerah kekuasaan Belanda di sekitar Gunung Sitoli
di pantai timur. Pada hari raya Paskah 1874, pertama kali dilayankan sakramen
baptisan kepada 25 orang Nias. Pada tahun 1890 jumlah orang Kristen telah
meningkat menjadi 706 jiwa. Meskipun demikian, dalam masa itu telah diciptakan
sarana-sarana yang memungkinkan perluasan di kemudian hari. Pertama, orang
Kristen Nias telah belajar untuk ikut aktif mengabarkan Injil. Salah seorang
tokoh Nias yang berperanan besar dalam usaha pI ialah kepala kampung, Ama
Mandranga. Di samping itu, terdapat guru-guru serta penatua-penatua yang
diangkat oleh zendeling. Pada tahun 1882 didirikan sebuah lembaga pendidikan
guru. Tetapi menonjollah bahwa penduduk Nias kalau meminta tenaga penginjil,
lebih mengharapkan kedatangan seorang zendeling bangsa Eropa daripada tenaga
sesuku mereka. Namun, para zendeling sadar akan peranan penting
pembantu-pembantu mereka itu, sehingga mereka tetap berupaya meningkatkan
wewenang pembantu itu di mata orang Nias. Pun upaya supaya jemaat-jemaat Nias
menjadi swadaya telah dimulai agak dini. Sarana yang hendak disebut terakhir
ialah penerjemahan Alkitab dan buku-buku lain ke dalam bahasa Nias (Utara) oleh
pekabar Injil H. Sundermann, dengan bantuan Ama Mandranga dan beberapa orang
Nias lannya (Injil Lukas, 1874; PB, 1891).
Perluasan 1891-1916, Dalam masa 25 tahun berikutnya,
usaha pI maju dengan lebih cepat dan sarana-sarana tersebut di atas diperluas.
Sebelum perluasan wilayah kekuasaan Belanda berlangsung, zending sudah maju ke
Nias Barat (1892) dan Tengah (1895). Sebaliknya, daerah Nias Selatan dan Utara
baru dapat ditempati pekabar Injil setelah ditaklukkan oleh gubernemen. Jumlah
orang Kristen meningkat dari 706 menjadi 20.000 pada tahun 1915. Sementara itu,
para zendeling menambahkan pada jumlah para guru dan penatua menjadi hampir
500. Diciptakannya pula jabatan sinenge ("rasul"), yang melayani
jemaat-jemaat yang tidak mempunyai sekolah. Pada tahun 1906 ditahbiskanlah
pendeta Nias yang pertama. Terjemahan seluruh Alkitab selesai dicetak pada
tahun 1913. Bidang kegiatan para zendeling luas sekali: mereka membangun
jalan-jalan, mendirikan bank tabungan, membuka kebun-kebun kopi, semua dalam
rangka melicinkan jalan bagi usaha pI dan meningkatkan daya ekonomi jemaat
Kristen. Berkat usaha mereka di bidang kesehatan, jumlah orang Kristen
meningkat oleh pertumbuhan alamiah (masih terlepas dari masuknya orang yang
bukan Kristen), sedangkan jumlah penduduk pulau Nias dalam keseluruhannya
menurun akibat penyakit-penyakit menular. Dalam pada itu, para zendeling masih
kurang senang melihat keadaan jemaat secara batin: penyalahgunaan minuman
keras, kekacauan di bidang perkawinan, keengganan untuk memberi sumbangan
berupa uang atau benda bagi kehidupan jemaat, masih merajalela. Pun mayoritas
orang Nias tetap menolak Injil. Kata seorang zendeling. "Saya merasa
bagaikan ular yang berusaha menggigiti besi".
1.4.3. Masa pertobatan masal (Fangesa
dodo)
Perkembangan dan pertumbuhan
kekristenan di Nias mencapai puncaknya pada tahun 1916 dengan apa yang disebut Fangesa
Dödö Sebua (Pertobatan Hati Massal).[12]
Pertobatan ini semacam Gerakan Kebangunan Rohani Besar/Masal. Peristiwa ini
bermula di Humene (± 10 km dari Gunungsitoli) ketika seorang “guru bantu” di
sekolah Zending bernama Filemo pada bulan April 1916. Pada saat itu
sedang ada berlangsung kebaktian Paskah sekaligus Perjamuan Kudus dengan
misionaris Ruderrsdorf sebagai pelayannya. Setelah mendengar
Firman Tuhan tiba-tiba Filemo menangis dan menjerit sambil berkat “Horögu!
Horögu!” (Dosaku! Dosaku!). Orang banyak mengira dia “gila” atau “sakit”,
tetapi Ruderrsdorf yang berlatar belakang Pietis memahami kondisi ini. Dia
mengatakan bahwa Filemo tidak sakit, melainkan dia menyesal akan dosa-dosanya.
Ruderrsdorf menuntun Filemo untuk mengakui dosa dihadapan Tuhan dan meminta
maaf terhadap setiap orang yang merasa dia bersalah. Dia melakukan itu semua
dan setelahnya Filemo merasa damai dan tenang. Anehnya kepada setiap orang
Filemo meminta maaf, orang tersebut juga menagis dan menyesali dosanya sehingga
pergi meminta maaf kepada yang lain.[13]
Ketika mengalami pertobatan, maka orang yang mengalami ini menyadari akan
setiap kesalahan dan perbuatan yang telah di lakukaun terhadap orang lain, lau
dia meminta maaf kepada semua orang yang di sakitinya, dengan pertobatanlah
yang membuat seseorang mengingatkan akan dosa.
Peristiwa ini cepat menyebar ke
seluruh wilayah daerah pelayanan para misionaris, sehingga banyak orang yang
menyesali dosanya dan kembali ke jalan Tuhan. Dampak positif dari gerakan ini
nampak pada pertumbuhan kuantitas dan kualitas iman warga jemaat. Segi
kuantitas terjadi pertambahan jumlah orang Kristen secara signifikan. Pada
tahun 1915 jumlah orang Kristen di Nias tercatat 20.000 jiwa (hasil pelayanan
50 tahun). Pada tahun 1929 menjadi 85.000 jiwa. Bertambah 65.000 jiwa hanya
dalam kurun waktu 14 tahun saja. Juga dalam kehidupan sehari-hari orang-orang
Nias yang telah menjadi Kristen, benar-benar menunjukkan dirinya sebagai orang
yang percaya kepada Yesus. Banyak yang membuang “Adu”, hidup dalam
perskutuan-persekutuan dan kejahatan seperti perkelahian, pencurian, perampokan
mulai berkurang. Pada saat ini kerinduan orang mendengar Firman Tuhan sungguh
besar. Sehingga dimana-mana bermunculan persekutuan doa yang disebut dengan Sekola
Wanusugi Dödö atau Sekolah Niha Keriso. Pada
saat ini banyak tercipta lagu-lagu rohani yang berisi pertobatan dan perubahan
hati. Sayang sekali, kemudian hari seiring dengan putusnya hubungan antara BNKP
dengan RMG akibat Perang Dunia II pada tahun 1940-1953 dan Jepang menguasai
Indonesia, gejolak di dalam gereja mulai timbul. Salah satunya muncul Fangesa
Dödö Solaya (Pertobatan Hati Dengan Menari) yang sudah “campur dengan ilmu
hitam” dan menjadi “sesat” oleh gereja. Gerakan ini mulai timbul di Nias Barat.
Pada saat itu yang muncul adalah penekanan pada karunia rohani dan sikap
menantikan akhir zaman. Pada saat ini juga muncul para pengajar “sesat” yang
mengandalkan mimpi-mimpi, muzijat dan memakai nama-nama Allah dalam bahasa
Ibrani (seperti Yahweh, El Roy, El Elyom, dll) sebagai satu kekuatan.
1.4.4. Masuknya Injil Di Nias Tengah dan
bagian Barat
Dr. W.H.
Sundermann telah berusaha menyebarkan Injil di Dahana, tetapi masih belum
menarik perhatian penduduk di sana. Maka pada tahun 1896 ia pindah ke Lõlõwua
dan membuka pos pekabaran injil di situ. Di Lõlõwua ini Sundermann berhasil menterjemahkan Alkitab ke dalam Bahasa Nias,
ditambah dengan Katekhismus Luther yang disebut “Lala Wangorifi” (Jalan keselamatan).
Sementara itu
E. Fries yang baru tiba di Nias membuka pos pekabaran injil di Sifaoro’asi pada tahun 1905. Di sana ia mengalami
kesulitan karena adanya perselisihan dan perkelahian antara kelompok-kelompok
penduduk, pengayauan, kemiskinan penduduk, wabah penyakit yang telah merenggut
banyak jiwa termasuk dua orang anaknya sendiri. Namun 4 tahun setelah
kedatangannya di sana, tepatnya tanggal 26 Desember 1909 di Sifaoro’asi dapat
dilaksanakan pembaptisan yang pertama sekaligus dengan peresmian Gedung Gereja
yang pertama di situ.
Di Nias bagian
Barat H. Lagemann bersama A. Lett telah berhasil tiba di Sirombu pada tahun
1892, dan membuka Pos Pekabaran Injil di situ di bawah asuhan A. Lett. Satu
tahun kemudian (tahun 1893) H. Lagemann juga berhasil membuka Pos Pekabaran
Injil di Lahagu. Menyusul lagi pada
tahun 1899 Pendeta Sporket membuka Pos Pekabaran Injil di Lõlõmboli Moro’õ. Demikian pula bersamaan
dengan itu Pendeta w. Hoffman membuka pos pekabaran injil di Hinako.
Berikutnya pada
tahun 1903 Pendeta L. Hipponstiel menetap di Lõlõwa’u. Dua tahun kemudian
(1905) Pendeta A. Pilgenroder membuka Pos Pekabaran Injil di Tugala Oyo, dan pada
tahun 1806 Pendeta Bassfeld membuka pos pekabaran injil di Lõlõmoyo, Mandrehe.
Akhirnya Pendeta Bassfeld ini dipindahkan di Lawelu pada tahun 1919.[14]
Kemudian pekerjaannya di sana diteruskan oleh Pendeta Uffer, Kreck dan Alfred
Schneider.
1.4.5. Masuknya Injil Di Nias Bagian Timur
dan Bagian Nias Selatan
Usaha pekabaran injil di Nias bagian Selatan baru
dapat dibuka kembali pada tahun 1908, yaitu setelah pemerintah Hindia Belanda
berhasil menduduki õri Maenamõlõ (Nama kampung). Sehingga Pendeta H. Rabeneck berhasil
membuka pos pekabaran Injil di sana pada tahun 1909 dengan dibantu oleh dua
orang tenaga guru yaitu Faedogõ di Hiligeo dan Hata di Hilisatarõ. Baptisan pertama di sana baru terjadi
pada tahun 1916. Berita Injil baru masuk di Hilisimaetanõ pada tahun 1911,
yaitu dengan datangnya Pendeta B. Borutta di sana. Masuknya Injil di Nias
bagian Selatan menghadapi cukup banyak tantangan dan kesukaran.
Pada tahun 1903
Pendeta Noll membuka Pos Pekabaran Injil di Bo’usõ. Orang-orang yang datang dan
pergi melalui Bo’usõ ini mempercepat tersiarnya berita Injil di kalangan
penduduk di Nias Bagian Utara, sehingga pada tahun 1910 Tuhenõri Ama De’ali
yang bergelar Samasiniha dari Hilindruria bersama 3 orang Salawa datang meminta
kepada Poendeta Noll agar membuka pos Pekabaran Injil di Hilimaziaya. Pada
tahun 1911 Pendeta Schlipkoter membuka Pos Pekabaran Injil di hilimaziaya.
Kemudian berita Injil tersiar mulai dari Hilimaziaya dan dari Tugala Oyo sampai
di Afulu dan Lahewa. Akhirnya pada tahun 1922 Pendeta Skubina membuka pos
pekabaran injil di Lahewa.[15] Pada perluasan ini sudah dapat
dilihat Injil di Nias dengan bantuan dari Misionaris Jerman dan di teruskan
oleh orang-orang yang di arahkan oleh
Tuan Deninger dan orang-orang inilah yang meneruskan berita Injil di Nias.
1.5.
Sejarah terbentuknya Gereja BNKP NIAS
Setelah Injil masuk ke Nias,
terjadilah suatu gerakan pertobatan massal yang disebut “Fangesa Dödö Sebua.”
Peristiwa ini terjadi selama 14 tahun (tahun 1916-1930), walaupun kadang-kadang
terputus. Terjadinya mula-mula di Jemaat Helefanicha, Humene, ketika Pendeta
Otto Rudersdorf berkhotbah dalam Kebaktian Perjamuan Kudus pada bulan April
1916. Salah seorang jemaat yang mengikuti kebaktian bernama Filemo mengakui
semua dosa dan kesalahannya sehingga sangat susah, gelisah, gemetar dan
menangis. Setelah Pendeta mendoakan serta
memberi petunjuk agar ia mohon pengampunan dari Tuhan dan meminta pengampunan
dari setiap orang dengan siapa ia bersalah, ia melakukan semuanya itu, akhirnya
ia merasa damai dan bahagia. Tetapi anehnya orang-orang kepada siapa ia minta
pengampunan itu juga semua mengalami gejala yang sama, sehingga pertobatan itu
berkembang kepada seluruh jemaat, bahkan sampai ke Gunung Sitoli, Sogae’adu,
Lölöwua, Nias Tengah, dan Nias Barat. Meluasnya gejala ini dapat melalui
kunjungan kepada kaum keluarga, mengikuti Persekutuan Doa, kebaktian Pemahaman
Alkitab, dan sebagainya. Pertobatan massal ini ternyata sangat mempengaruhi
perkembangan anggota jemaat sampai ± 415 %. Dari 699 orang sampai tahun 1890 naik
menjadi 17.795 orang tahun 1915, kemudian menjadi 83.905 orang. Di samping pertobatan massal, juga dengan adanya pembinaan
pelayan-pelayan gereja yang melayani Pekabaran Injil. Pendidikan tenaga pendeta
yang telah dimulai sejak tahun 1905 telah berkembang dan memungkinkan
berdirinya gereja. Sampai tahun 1940 telah ditahbiskan 25 orang pendeta dari
Suku Nias. Pada tanggal 18 s.d. 25 November
1936 di Gunung Sitoli diadakan Persidangan Majelis Sinode pertama,
sehingga berdirilah BNKP sebagai gereja di Nias, walaupun anggaran dasarnya
baru disahkan pemerintah pada tahun 1938. Sinode BNKP itu dipimpin oleh Ephorus
A. Luck dari RMG sampai tahun 1940.
Tetapi pada bulan Mei 1940
terbentuklah anggota Pimpinan Sinode BNKP sebagai berikut :
Voorzitter (Ketua) : Atoföna
Harefa
Wakil
Voorzitter : Fohede Mendröfa
Sekretaris
: Andreas Larosa
Bendahara
: Tandrombörö Hulu (Ama Masati Hulu)
Komisaris
I :
Karöröŵa Telaumbanua
Komisaris
II
: Ta’obini Zebua
Atas
prakarsa Komisi Pekabaran Injil yang sekarang bernama KMO (Komisi Missi dan
Oikumene), BNKP juga pernah mengutus
tenaga pendetanya ke Tanah Karo, yaitu Pendeta Fronst Gulö, yang melayani dari
tahun 1967-1970, namun berhenti karena kesulitan dana. Baru pada bulan
September 1996 melalui kerjasama dengan OMF, BNKP telah mengutus Ibu Pdt.
Masrial Zebua, STh. Untuk memberitakan Injil di tengah-tengah suku Manobo di
Pulau Mindanao, Filipina Selatan. Dan seterusnya atas kerjasama dengan WEC juga
telah diutus Pdt. Destalenta Zega, STh yang didampingi suaminya Max Aay yang
menjadi misionaris di Kirghistan, Rusia. Mereka diutus pada bulan Juni 1998.[16]
Inilah utusan-utusan pemberita Injil di
Nias sampai sekarang dengan di utus keluar Pulau Nias, sehingga dengan adanya
mereka Gereja semakin berkembang dan bertambah banyak di Nias Khususnya gereja
BNKP yang ada di Pulau Nias dan juga di tempat-tempat di Luar Pulau Nias.
1.5.1. Visi Misi Gereja BNKP
a.
Visi
Gereja BNKP Hoya Ewo
Visi
adalah kemampuan untuk melihat inti pada persoalan pada pandangan kedepan yang
bisa merasakan sesuatu perubahan yang
akan terjadi. Visi gereja BNKP adalah di buat dengan singkat sehingga cepat di
pahami oleh jemaat yaitu: “Teguh dalam Persekutuan dan Menjadi Berkat Bagi
Dunia”
b.
Misi
Gereja BNKP Hoya Ewo
“Menata
dan membangun Persekutuan yang indah dan teguh di BNKP berdasarkan Kasih
Kristus dalam kehidupan yang seia-sekata, sehati sepikir, dalam satu Kasih,
satu Jiwa dan satu Tujuan, bait yang sifatnya Internal maupun Eksternal”.
1.5.2. Pertama Berdirinya Gereja BNKP Nias Utara
Pendeta Noll, Pada tahun 1903
membuka Pos Pekabaran Injil di Bo’usõ. Orang-orang yang datang dan pergi
melalui Bo’usõ ini mempercepat tersiarnya berita Injil di kalangan penduduk di
Nias Bagian Utara, sehingga pada tahun 1910 Tuhenõri Ama De’ali yang bergelar
Samasiniha dari Hilindruria bersama 3 orang Salawa datang meminta kepada
Poendeta Noll agar membuka pos Pekabaran Injil di Hilimaziaya. Pendeta Schlipkoter, Pada tahun 1911 membuka Pos
Pekabaran Injil di Hilimaziaya. Kemudian berita Injil tersiar mulai dari
Hilimaziaya dan dari Tugala Oyo sampai di Afulu dan Lahewa, kemudian seorang
pendeta yang yang datang di utus untuk menemaninya dan Akhirnya pada tahun 1922 Pendeta Skubina datang serta
membuka pos pekabaran Injil di Lahewa serta peresmian gereja BNKP di sana.
1.5.3. Kedua Berdirinya Gereja BNKP Nias Barat
Dr. W.H.
Sundermann telah berusaha menyebarkan Injil di Dahana, tetapi masih belum
menarik perhatian penduduk di sana. Maka pada tahun 1896 ia pindah ke Lõlõwua
dan membuka pos pekabaran injil di situ. Di Lõlõwua ini Sundermann berhasil menterjemahkan Alkitab ke dalam Bahasa Nias,
ditambah
dengan
Katekhismus Luther yang disebut “LalaWangorifi” (Jalan Keselamatan).
E. Fries yang
baru tiba di Nias membuka pos pekabaran injil di Sifaoro’asi pada tahun 1905. Di sana ia mengalami
kesulitan karena adanya perselisihan dan perkelahian antara kelompok-kelompok
penduduk, pengayauan, kemiskinan penduduk, wabah penyakit yang telah merenggut
banyak jiwa termasuk dua orang anaknya sendiri. Namun 4 tahun setelah
kedatangannya di sana
Pada tanggal 26 Desember 1909 di Sifaoro’asi dapat dilaksanakan pembaptisan yang
pertama sekaligus dengan peresmian Gedung Gereja yang pertama di situ.
Akhirnya
Pendeta Bassfeld ini dipindahkan di Lawelu pada tahun 1919. Kemudian
pekerjaannya di sana diteruskan oleh Pendeta Uffer, Kreck dan Alfred Schneider.
1.5.4. Ketiga Berdirinya Gereja BNKP Nias Selatan
Usaha pekabaran injil di Nias
bagian Selatan baru dapat dibuka pada tahun 1908, yaitu setelah pemerintah
Hindia Belanda berhasil menduduki õri Maenamõlõ. Pendeta H. Rabeneck
berhasil membuka pos pekabaran Injil di sana pada tahun 1909 dengan dibantu
oleh dua orang tenaga guru yaitu Faedogõ di Hiligeo dan Fangaro di Hilisatarõ.
Berita Injil baru masuk di Hilisimaetanõ pada tahun 1911, yaitu dengan
datangnya Pendeta B. Borutta di sana. Sehingga strategi pendekatannya
begitu cepat dan orang-orang disana menerima injil Baptisan pertama di sana
baru terjadi pada tahun 1916 serta peresmian Gereja BNKP di Nias Selatan.[17] Maka gereja yang ada di Nias Selatan saat ini
sangat berkembang sampai keseluruh Nias selatan termasuk dari gereja BNKP Hoya
Ewo Nias Selatan. Maka di sini di lihat perkemebangannya khusus Jemaat BNKP
Nias Selatan. Sesuai dengan data yang ada diatas bahwa gereja BNKP Hoya Ewo
Berdiri pada Tahun 1940 yang di bawa oleh murid Schlipkoter yaitu Ionata Hulu dan di teruskan oleh
pegangti-pegantinya seperti yang tertulis di atas dari sejarah masuknya gereja
BNKP di Nias selatan. Pada tahun 1940 gereja sudah mulai ada di BNKP Hoya Ewo
walaupun hanya berupa Pos persekutuan tetap sudah terlihat ada yang menrima
Injil ketika pos PI masuk di Hoya Ewo. Gereja di Hoya Ewo sudah menjelang 74
tahun lamanya sampai sekarang, gereja ini atau persekutuan ini di bawa oleh
murid Rohaninya Schlipkoter dari RMG Jerman yaitu Ionata Hulu,[18]
inilah yang memberitakan kebenaran Injil di Hoya Ewo, Beberapa selang waktu
seorang yang berasal dari kampung dari Hili’ana’a Hoya yang meneruskan Injil
dengan persekutuan yang di lakukan. Waktu itu jumlah Jemaat sekitar ±2000 ribu
jiwa dalam 500 kepala Keluarga. Jemaaat pada waktu berasal dari berbagai
kampung yaitu Hilina’a, Luhamowu, Tano niko’o, Amandaya, Hoya, Watu-watu,
Hilialawa, Ewo, dan Ono geu. Pada tahun
1950 beliu di ganti oleh Tanoaro Hulu, Pada tahun 1950-1960
dengan memimpin jemaat yang masih tetap ±2000 jiwa , maka pada masa ini
mengalami suatu kesulitan jarak yang sangat tidak bisa di jangkau oleh Jemaat
karena jauh, maka pada masa ini gereja jadi mekar dengan sebagian dari kampung
memisahkan diri dari gereja BNKP Hoya Ewo yaitu gereja di dirikan di
Hili’ana’a, maka kampong yang ikut dengan gereja ini yaitu Hili’ana’a,
Luhamowu, Tano niko’o, dan Amandaya. Jemaat
di gereja BNKP setelah mekar sekitar ±1000 lebih, setelah mekar Gereja BNKP
Hoya Ewo maka beliau menjadi Majelis di Gereja BNKP di Hili’ana. Maka pada
Tahun 1960-1965 beliau diganti oleh Faogombowo Hulu dengan jemaat ±1000 lebih,
pelayanannya berjalan dengan lancar dengan jemaat yang masih tetap. Pada tahun
1965-1975, beliau selesai masa periodenya maka beliau diganti oleh Mbo’o-mbo’o Baene, dengan jemaat yang
sama tidak pernah berubah hasilnya jemaat masih ±1000 jiwa. Pada tahun
1975-1985, belia diganti oleh Mboanai
Hulu dengan pelayanan ini mengalami penurunan Jiwa, banyak yang
meninggalkan gereja dengan tidak ada alasan, ada yang pindah kegereja lain.
Jumlah jiwa yang di data ±850 orang termasuk pemudah dan ±500 kepala
keluarga. Dan Pada tahun 1985-2000
beliau diganti oleh Talihuku Hulu,
maka pada saat kepemimpinan ini jemaat masih ada perkembangan dalam jumlah jiwa
yang sama ±1000 orang, dengan pelayanan
yang sangat baik ketika beliu melayani di Gereja BNKP Hoya Ewo tetapi dengan
keterbatasannya karena dia sudah mulai tua maka dia mencari gantinya untuk
menjadi Majelis yang bisa di membawa gereja BNKP Hoya Ewo saat ini, dan Pada
tahun 2000-2014 ini diganti oleh Alui
Ziduhu Hulu, kepemimpinan ini sama dengan Talihuku Hulu dengan melayani
sangat baik sampai sekarang dengan Jemaat ±1000 orang termasuk pemuda dan
pemudi belum anak-anak.[19]
Tetap pada jumlah yang sama. Inilah majelis yang yang membawa dan meneruskan
Injil dalam pelayanan di gereja BNKP saat ini walaupun belum semaksimal tapi
sudah terlihat ada suatu gerekan yang peningkatan dalam pelayanan jika injil
terus di sampaikan maka hasilnya akan memenangkan banyak jiwa.
1.6.
Statistik
Gereja BNKP
Berdasarkan data terakhir per 31 Oktober 2010 menurut
Perikopen BNKP 2011, statistik BNKP
secara ke seluruhan BNKP dengan
data yang ada sebagai berikut.[20]
No
|
Uraian
|
Jumlah
|
Keterangan
|
1
|
Warga Jemaat
|
Banyaknya 360.955 jiwa
1. Lk = 174.751 jiwa
|
Tiga ratus enam puluh juta
Sembilan ratus lima puluh lima jiwa.
|
2
|
Resort
|
54 Resort
|
Lima puluh empat Resort
|
3
|
Jemaat rata-rata
|
1075 Jemaat
|
Setiap Gereja memiliki
jemaat sebanyak seribu tujuh puluh lima orang
|
4
|
Pelayan
|
1. Pendeta = 384 orang
2. (Lk = 224 orang;
3. Pr = 160 orang)
4. Guru Jemaat = 752 orang
5. Evangelis = 255 orang
6. SNK (Penatua) = 18.025 orang
7. Staff yang bekerja di Unit
Pelayanan = 75 orang
|
1. Tiga ratus delapan puluh orang
laki dan perempuan
2. Laki dua ratus dua puluh empat
orang
3. Perempuan seratus enam puluh orang
4. Tujuh ratus lima puluh dua orang
5. Dua ratus lima puluh lima orang
6. Delapan belas ribu dua puluh lima
orang
7. Tujuh puluh lima orang
|
Inilah table statistik Gereja BNKP yang sesuai
dengan perikopen gereja yang ada sekarang, yang sudah di susun secara singkat
dan sederhana sehingga dapat di mengerti dan di pahami dengan jelas di atas
dengan jumlah yang sudah di data secara keseluruhan BNKP Nias sehingga dengan data
yang ada di atas membuktikkan bahwa betapa banyak jumlah anggota jemaat dan dan
jumalah jemaat serta pengurus-pengurus gereja.[21]
Maka dengan susunan data yang ada di
atas maka penulis juga menguraikan data dari statistic gereja BNKP Hoya Ewo
Nias Selatan secara Khusu yang ada di table di bawah ini. Data statistik Gereja
BNKP Hoya Ewo Nias Selatan mulai tahun 2000-2014 dengan data yang sudah ada di
table di bawah ini, inilah data yang penulis dapat, dari penulisan karya ilmiah
ini.[22]
Maka penulis paparkan dengan detail sebagai berikut.
no
|
Uraian
|
Jumlah
|
Keterangan
|
1
|
Pdt.
Elifati Zega
|
Laki 1 orang
|
Satu orang
|
2
|
1. Majelis jemaat
2. Bendahara
3. Sekretaris
|
1.
Aluiziduhu Hulu
2.
Sindo aru Hulu
3.
Sarohuku Baene
|
Laki-laki
Laki-laki
Laki-laki
|
3
|
1. Jumlah Jemaat 1000 orang
|
2.
Laki-laki: 368 orang
3.
Perempuan: 632 orang
|
1.
Tiga ratus enam puluh delapan
orang
2.
Enam ratus tiga puluh dua orang
|
4.
|
1. Jumlah Pemuda 86 orang
2. Ketua pemuda:
3. Wakil Ketua Pemuda:
4. Bendahara:
5. Sekretaris:
|
1.
Laki-laki: 34 orang
2.
Perempuan: 52 orang
Aro
Hulu
-Odaligo Hulu
-Gadimani Telaumbanua
-Sifine Baene
|
1.
Tiga puluh empat orang
2.
Lima puluh dua orang
----
----
----
----
|
5
|
Jumalah
Sekolah Minggu 160 0rang
-
Ketua
Guru Sekolah Minggu
-
Guru-guru
Sekolah Minggu
|
1.
Laki-laki: 57 anak
2.
Perempuan: 103 anak
-Arozawato Telaumbanua
-Sekhitahaoge Nduru
-Tafauduge Hulu
-Julius Laia
-Gadimani Telaumbanua
-Arozinugu Hulu
|
1.
Lima puluh tujuh anak
2.
Seratus tiga anak.
|
5
|
Kegiatan
Komisi Wanita jumlah 35 0rang.
|
-perempuan: 35 orang
|
Tiga puluh Lima orang
|
Dari hasil data yang penulis dapat, inilah yang
penulis paparkan dengan detail melalui sumber telewicara atau wawancara melalui
telpon, maupun buku dalam data Sejarah Gereja BNKP dan bahkan
penulis menwawancara beberapa kali tetap dengan hasil yang sama.
Pendeta Resosrt masih aktif sampai sekarang tetapi
hanya datang dalam acara-acara seperti Pembaptisan, Sidi dan kegiatan-kegiatan
yang bersangkut paut dengan Gereja. Tetapi yang mewakili adalah pada kegiatan ibadah Minggu adalah
Majelis-majelis yang ada, dengan bergilir membawa renungan. Majelis aktif dalam
pelayanan untuk mengarahkan jemaat-jemaat yang ada.[23]Pemuda
sangat aktif dalam kegiatan-kegiatan khususnya dalam acara pemuda, pemuda di
dukung oleh gereja dalam setiap kegiatan, pelayanan pemuda di adakan ibadah
setiap hari sabtu jam 5 sore dengan rutin, sedangkan Sekolah Minggu sangat
Aktif sampai sekarang, anak-anak di didik dengan kerohanian dengan belajar
Firman Tuhan dan di ajarin untuk cara memuji dan Menyembah Tuhan. Pelayanan
Sekolah Minggu di adakan Setiap hari Minggu Pagi Jam 07.00 wib sampai jam 10.00
wib pagi.[24]
Pelayanan sekolah minggu di bagi dalam dua kelompok yaitu: kelompok anak di
mulai dari kelas 1 SD - 5 SD dan mulai
kelas 6 SD – 1 SMP. Inilah pelayanan Sekolah Minggu.
Kegiatan Komisi
wanita di lakukan berupa Kesaksian
melalui Pujian yang di persembahkan setiap hari minggu sebelum Khotbah.[25]
Pelayanan ini dilakukan setiap hari minggu dan juga di bawa ke gereja-gereja
Lain untuk memberi kesaksian dengan pelayanan ini membuat gereja dengan semangat
bertumbuh dalam Kesaksian.
[3]
Fries, E. NIAS:Amoeata Hoelo Nono Niha, (Sejarah
Pulau Nias) ;Ombolata:Zendingsdurkerij, 1919, hlm. 1-7
[8] Geya, Ar. Nitöngöni
Ba Wamalua Ngawalö Halöwö Pelayanan Ba BNKP (Terj. Hal-Hal Yang Perlu
Diperhatikan Dalam Melaksakan Kegiatan Pelayanan di BNKP, (Gunungsitoli:
STT sunderman, 1987), hlm. 2-9
Namun mereka menyebut dirinya
Neo-Pietismen karena menyebut diri bagian dari Reformasi namun tidak terikat
dengan dengan salah satu tradisi baik Luteran maupun Reformed. Hal ini
juga nantinya terwarisi dalam gereja-gereja hasil PI RMG umumnya di
Kalimanta, Sumatera, Mentawai, Nias, dll seperti di BNKP, HKBP, GKPS, HKI,
GKPM, dll. Umumnya mereka menyebut diri “Uniert” atau perpaduan Lutheran dan
Reformed.
[11]
Gustav Menzel, Denninger:Ama
Wohalõwõ Ba Danõ Niha (penterjemah-B. Chr. Hulu), (Gunungsitoli: Panitia
Yubelium 125 Fakhe Duria Somuso Dõdõ Ba Danõ Niha, 1990), hlm. 4
[12]
Fangesa (=pertobatan/penyesalan), dodo
(=hati) sebua (=besar). Arti harfiahnya adalah “pertobatan hati yang besar”.
Namun diterjemahkan kemudian dengan “pertobatan masal”. Sebua (besar)
diterjemahkan dengan orang banyak atau masal
[13] Pdt. F. Mendröfa
(Ephorus BNKP 1956-1965) mencatat bahwa peristiwa ini berlangsung dalam
beberapa babak yaitu a). 1916-1919; b). 1920-1921; c). 1922-1924; d).
1928-1930; dan d). 1938-1940. e). Antara tahun 1940-1953 masih berlangsung
meski terputus-putus.
[14]
W.R. Sunderman, Sejarah berita Injil di Nias, (Gunung Sitoli: STT Sunderman,
1986), hlm. 162-168
[15] Gulö, W (peny.), Injil
dan Budaya Nias:Laporan Seminar Lokakarya Perjumpaan Injil dan Budaya Nias di
Gunungsitoli, Nias, 06-08 Maret 2004, (Gunungsitoli:Panitia Seminar, 2004)
[16] Telaumbanua, Tuhoni,
Sejarah Misi dan Gereja Nias (Gunungsitoli:STT BNKP Sundermann, 2009). Hlm
11-16
[17] Gulo, W. dkk, Peranan
Gereja Dalam Pembangunan Masyarakat Nias:Laporan Seminar Lokakarya Peranan
Gereja-Gereja di Nias dalam Pembangunan Masyarakat Nias 21-31 Oktober 2001 (Gunungsitoli:Panitia
Seminar & Lokakarya, 2001)
[18]
Aluiziduhu, Telewicara, (Nias: 25 Maret 2014)
[20]
BPHMS, Data –data sejarah Gereja BNKP
NIas, (Gunung Sitoli: STT Sunderman, 2011) rapat pengurus tahun 2011.
[21]
Eliadil Baene. Telewicara, tanggal 2 April 2014 dan tanggal 24 Februari 2014.
[22]
BPH, Sejarah dan data Gereja BNKP, (Gunung sitoli: STT Sunderman, 2001)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar